Tenty Novianti (28), warga RT 06 RW 02 Desa Randusanga Kulon, Kecamatan/Kabupaten Brebes dan keluarga, harus berurusan dengan pengadilan lantaran mantan suaminya, Edi Nuryanto (34) menggugat seserahan pernikahan yang telah diberikannya. Jengah atas sikap sang mantan, Tenty pun menuntut Edi mengembalikan keperawanannya. Bagaimana kisahnya?
Ida Ayu Komang, Brebes
TIDAK sulit menemui kediaman Tenty Novianti di Desa Randusanga. Suasana pesisir pantai begitu terasa dan hiruk-pikuk aktivitas petani tambak begitu tampak. Koran ini akhirnya tiba juga di sebuah rumah yang cukup besar berwarna hijau toska. Setelah tiba di kediamannya, kami disambut ramah oleh Gofir (50) dan Sri Mulyani (45) yang merupakan orang tua Tenty Novianti. Namun sayang, Tenty tidak ada di rumah, tapi sedang berada di acara tempatnya bekerja.
Kepada Radar (Grup JPNN), Gofir dan Sri Mulyani pun mulai menceritakan awal kejadian gugatan yang diterimanya. Kala itu, tanggal 5 Juni 2012, Tenty menikah dengan Edi Nuryanto. Namun, empat hari setelah masa pernikahan anaknya, Edi meminta modal kepada Tenty sebesar Rp15 juta untuk modal usaha bawang.
Karena keterbatasan dana, Tenty tidak bisa memenuhinya. Dari situ, ketidakharmonisan mulai muncul. “Ya, suaminya itu nggak pulang sampai disusul. Paginya, berangkat tapi nggak kasih tahu mau berangkat ke mana,” ujarnya.
Tidak lama dari keberangkatan itu, saat pulang kembali ke rumah, Edi tidak sendiri, dia membawa orang lain dan mengambil pakaiannya. Hari terus berganti, tepat tanggal 12 Juni 2012 atau 7 hari setelah pernikahan, Edi kembali datang menemui Gofir membawa surat perjanjian. Dalam surat tersebut tertera, seserahan yang telah diberikannya saat menikah akan dikembalikan bila nanti bercerai.
Gofir yang tidak bisa membaca alias buta huruf, menandatangani surat tersebut di atas materai. Bahkan diakui Gofir, penandatanganan surat tersebut karena di bawah tekanan. “Ya saya sih orang bodoh, nggak bisa baca, disuruh tanda tangan ya sudahlah, saya nggak ngerti isinya apa,” lanjut pria yang merupakan petani tambak ini.
Saat proses penandatanganan surat itu, Edi datang bersama pengacaranya. Dan isi surat perjanjian itu dibacakan. Namun Gofir mengaku tidak memahami sama sekali isi surat tersebut. “Ya kita sih bli bisa baca, ora ngarti (saya sih tidak bisa baca, tidak ngerti, red). Pas dibacakan juga bapaknya duduk di mana, Edinya di mana,” ujar sang istri, Sri Mulyani.
Sri menjelaskan, tidak lama dari penandatanganan surat itu, gugatan cerai dilayangkan oleh sang suami. “Sekitar sebulan menikah, digugat cerai,” ujarnya.
Akhirnya tanggal 12 November 2012, pasangan suami istri yang baru berlangsung seumur jagung itu resmi bercerai karena gugatan cerai yang dilayangkan Edi Nuryanto dikabulkan oleh pengadilan agama.
Dikatakan Sri, yang dinamakan seserahan adalah kenang-kenangan dan tidak ada perjanjian apa pun tentang seserahan tersebut di awal pernikahan. “Ya kita kayak diteror. Seserahan minta dikembalikan, minta uang Rp40 juta ditambah denda keterlambatan Rp2,8 juta dan bunga Rp400 ribu,” jelasnya.
Sementara, kuasa hukum Edi Nuryanto, Hutama Agus Sultoni SH menjelaskan, pihak tergugat telah berjanji untuk melakukan pengembalian seserahan setelah perceraian dikabulkan. Proses hukum gugatan Edi Nuryanto ini sudah melewati persidangan pertama dan sudah memasuki tahap mediasi selama 40 hari.
“Soal ada tekanan atau bagaimana saya tidak tahu. Yang jelas, di situ ada surat pernyataan dari Pak Gofir (Ayah Tenty Novianti, red) dan ada tanda tangan di atas materai,” ujarnya.
Keluarga Tenty, jelas dia, digugat atas tuduhan wanprestasi atau ingkar janji. Terkait ancaman akan ada tuntutan balik dari keluarga Tenty, Agus tidak mempermasalahkannya. “Itu hak mereka ingin menuntut balik atau seperti apa. Biarlah proses hukum yang menentukan,” tukasnya seraya menyebutkan sidang pertama di Pengadilan Negeri Brebes sudah dilakukan tanggal 22 Januari lalu.
Adapun seserahan yang digugat oleh Edi Nuryanto seperti sepeda motor Honda Vario, gelang emas 20 gram, seperangkat tempat tidur, almari, violet, kulkas, televisi, mesin cuci, tempat beras, magic jar, kompor gas dan kipas angin atau setara Rp40 juta. Tidak hanya itu, dalam surat perjanjian tersebut terdapat poin bahwa pihak keluarga harus juga membayar Rp2,8 juta bila ada keterlambatan dalam pengembalian sebagai denda dan juga bunga harian sebesar Rp400 ribu.
“Sampai saat ini masih terus saya pelajari, semoga hal ini bisa selesai di tahap mediasi,” jelasnya.
Sementara itu, dalam wawancaranya kepada RCTV usai menghadiri sidang pertama di Pengadilan Negeri Brebes, Tenty Novianti mengaku akan menggugat balik sang suami, Edi Nuryanto bila gugatan seserahan terus dilakukan. Tenty meminta status keperawanannya dikembalikan, serta akan menggugat Edi atas tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. “Saya minta status saya dikembalikan, dan akan menuntut pencemaran nama baik serta ketidaknyamanan,” ujarnya.
Sebelum menikah, lanjutnya, tidak pernah ada perjanjian untuk mengembalikan seserahan dari suaminya. “Tidak ada itu kata titipan atau pinjaman. Yang namanya seserahan itu kan kenang-kenangan dan pemberian,” tukasnya. (*)
Sumber
Ida Ayu Komang, Brebes
TIDAK sulit menemui kediaman Tenty Novianti di Desa Randusanga. Suasana pesisir pantai begitu terasa dan hiruk-pikuk aktivitas petani tambak begitu tampak. Koran ini akhirnya tiba juga di sebuah rumah yang cukup besar berwarna hijau toska. Setelah tiba di kediamannya, kami disambut ramah oleh Gofir (50) dan Sri Mulyani (45) yang merupakan orang tua Tenty Novianti. Namun sayang, Tenty tidak ada di rumah, tapi sedang berada di acara tempatnya bekerja.
Kepada Radar (Grup JPNN), Gofir dan Sri Mulyani pun mulai menceritakan awal kejadian gugatan yang diterimanya. Kala itu, tanggal 5 Juni 2012, Tenty menikah dengan Edi Nuryanto. Namun, empat hari setelah masa pernikahan anaknya, Edi meminta modal kepada Tenty sebesar Rp15 juta untuk modal usaha bawang.
Karena keterbatasan dana, Tenty tidak bisa memenuhinya. Dari situ, ketidakharmonisan mulai muncul. “Ya, suaminya itu nggak pulang sampai disusul. Paginya, berangkat tapi nggak kasih tahu mau berangkat ke mana,” ujarnya.
Tidak lama dari keberangkatan itu, saat pulang kembali ke rumah, Edi tidak sendiri, dia membawa orang lain dan mengambil pakaiannya. Hari terus berganti, tepat tanggal 12 Juni 2012 atau 7 hari setelah pernikahan, Edi kembali datang menemui Gofir membawa surat perjanjian. Dalam surat tersebut tertera, seserahan yang telah diberikannya saat menikah akan dikembalikan bila nanti bercerai.
Gofir yang tidak bisa membaca alias buta huruf, menandatangani surat tersebut di atas materai. Bahkan diakui Gofir, penandatanganan surat tersebut karena di bawah tekanan. “Ya saya sih orang bodoh, nggak bisa baca, disuruh tanda tangan ya sudahlah, saya nggak ngerti isinya apa,” lanjut pria yang merupakan petani tambak ini.
Saat proses penandatanganan surat itu, Edi datang bersama pengacaranya. Dan isi surat perjanjian itu dibacakan. Namun Gofir mengaku tidak memahami sama sekali isi surat tersebut. “Ya kita sih bli bisa baca, ora ngarti (saya sih tidak bisa baca, tidak ngerti, red). Pas dibacakan juga bapaknya duduk di mana, Edinya di mana,” ujar sang istri, Sri Mulyani.
Sri menjelaskan, tidak lama dari penandatanganan surat itu, gugatan cerai dilayangkan oleh sang suami. “Sekitar sebulan menikah, digugat cerai,” ujarnya.
Akhirnya tanggal 12 November 2012, pasangan suami istri yang baru berlangsung seumur jagung itu resmi bercerai karena gugatan cerai yang dilayangkan Edi Nuryanto dikabulkan oleh pengadilan agama.
Dikatakan Sri, yang dinamakan seserahan adalah kenang-kenangan dan tidak ada perjanjian apa pun tentang seserahan tersebut di awal pernikahan. “Ya kita kayak diteror. Seserahan minta dikembalikan, minta uang Rp40 juta ditambah denda keterlambatan Rp2,8 juta dan bunga Rp400 ribu,” jelasnya.
Sementara, kuasa hukum Edi Nuryanto, Hutama Agus Sultoni SH menjelaskan, pihak tergugat telah berjanji untuk melakukan pengembalian seserahan setelah perceraian dikabulkan. Proses hukum gugatan Edi Nuryanto ini sudah melewati persidangan pertama dan sudah memasuki tahap mediasi selama 40 hari.
“Soal ada tekanan atau bagaimana saya tidak tahu. Yang jelas, di situ ada surat pernyataan dari Pak Gofir (Ayah Tenty Novianti, red) dan ada tanda tangan di atas materai,” ujarnya.
Keluarga Tenty, jelas dia, digugat atas tuduhan wanprestasi atau ingkar janji. Terkait ancaman akan ada tuntutan balik dari keluarga Tenty, Agus tidak mempermasalahkannya. “Itu hak mereka ingin menuntut balik atau seperti apa. Biarlah proses hukum yang menentukan,” tukasnya seraya menyebutkan sidang pertama di Pengadilan Negeri Brebes sudah dilakukan tanggal 22 Januari lalu.
Adapun seserahan yang digugat oleh Edi Nuryanto seperti sepeda motor Honda Vario, gelang emas 20 gram, seperangkat tempat tidur, almari, violet, kulkas, televisi, mesin cuci, tempat beras, magic jar, kompor gas dan kipas angin atau setara Rp40 juta. Tidak hanya itu, dalam surat perjanjian tersebut terdapat poin bahwa pihak keluarga harus juga membayar Rp2,8 juta bila ada keterlambatan dalam pengembalian sebagai denda dan juga bunga harian sebesar Rp400 ribu.
“Sampai saat ini masih terus saya pelajari, semoga hal ini bisa selesai di tahap mediasi,” jelasnya.
Sementara itu, dalam wawancaranya kepada RCTV usai menghadiri sidang pertama di Pengadilan Negeri Brebes, Tenty Novianti mengaku akan menggugat balik sang suami, Edi Nuryanto bila gugatan seserahan terus dilakukan. Tenty meminta status keperawanannya dikembalikan, serta akan menggugat Edi atas tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. “Saya minta status saya dikembalikan, dan akan menuntut pencemaran nama baik serta ketidaknyamanan,” ujarnya.
Sebelum menikah, lanjutnya, tidak pernah ada perjanjian untuk mengembalikan seserahan dari suaminya. “Tidak ada itu kata titipan atau pinjaman. Yang namanya seserahan itu kan kenang-kenangan dan pemberian,” tukasnya. (*)
Sumber
Post a Comment
Situs ini DOFOLLOW jadi komentarlah yang bijak Oke, Komentar anda selalu kami hargai, Tapi Please jangan Spam Dong..!! ocret silahkan di lanjut yang mau koment